PUISI




Sembilan Bait Nyanyian untuk Cheng Ho


Di tepi jalan raya Dongfeng Dongfu, aku bertanya pada sejuta sepeda
yang bergulir lalu, mereka sibuk mengukir nasib bersama
seraya mengepulkan anyaman debu,

Pada empat arah mata angin kubaca senarai 1000 juta manusia, tapi
telapak tanganku hanya mampu menyentuh permukaan
samudera 5000 tahun sejarahmu, lalu aku bertanya-jawab
dengan tembikar tua bertuliskan kaligrafi biru,

Di depan musium berderet bunga sembilan warna, cuaca menjelang
musim gugur tapi yang kau tawarkan senantiasa musim bunga,
dan kini kau putar balik arlojiku lima abad     jangkanya,

Di kampung kelahiranmu, Kun Yang, aku terkenang pada klenteng
Sam Po Kong di Semarang,     pada pelayaranmu ke Aceh
dan Palembang, lalu persinggahanmu di Malaka dan Singapura,

Angin bertiup mendaki bukitmu, merayap di antara dedaunan berangan
dan cemara berdaun     jarum biru, mengantarkan dingin pada
leher jaketku, ketika aku terpaku berdiri di depan makam Haji
Ma ayahmu, dan Al-Fatihah basah di lidahku,

Kami peziarah diingatkan tentang seorang pelaut perkasa melalui kubur
ini, kubur ayahnya, namun di mana makam ibunya tak ada yang
memberiku berita,

Di tangannya tujuh pelayaran, disinggahinya tiga puluh pelabuhan dunia,
dijinakkannya     badai samudera dengan awak kapalnya, dia lah
laksamana yang menjelajah tapi tidak menjajah, dan disulamnya
benang hijau di atas layar sejarah,

Di atas bis Hino 20366 yang meluncur laju, aku masuki gerbang abad 15 dan
16 di negeriku, sauhmu Hanafi tapi terjangkar di pasir pantaiku
Syafi’i, kelopak mataku bagai anak kucing yang lama buta lama
terbuka,

Cheng Ho.

Dulu cuma sebuah nama dengan dua suku kata Cina terngiang di telinga
semasa kanak-    kanakku di Semarang lama, dulu cuma gugusan
kaligrafi sebuah klenteng dengan    barongsai gduk-gduk-ceng duk-
ceng duk-ceng yang bising dengan paduan warna merah dan kuning,
tapi kini betapa dalam gaung makna penafsirannya,

Cheng Ho.